TUHANLAH YANG MEMELIHARAKU
Siang itu kususuri jalan dengan langkah gontai, kepalaku tertunduk, matahari menghajar sekujur tubuhku dengan garang, siapapun yang melihat aku siang itu sudah bisa menebak bahwa aku adalah orang yang kalah perang.
Perusahaan tempat aku bekerja sudah tidak mampu lagi membayar karyawannya, mereka mulai mengurangi karyawannya sedikit demi sedikit, dan aku adalah orang pertama yang harus mengemasi barang-barangku.
Angin panas dan debu jalanan menghampiriku dengan cueknya, mataku kukedipkan untuk menahan angin dan debu, kuterawang jauh ke depan kuingat masa masa saat aku dan istriku merajut impian bersama. Kukatakan padanya dalam keadaan apapun perusahaan tempat aku bekerja tak akan pernah bangkrut karena secara finansial begitu kuat, jadi enggak perlu khawatir lagi. Tapi apa lacur, para birokrat perusahaan mulai mengkorupsi uang perusahaan untuk membesarkan perut mereka yang sudah buncit.
Kuingat pagi itu pak Ramli pimpinan perusahaan memanggilku, kumasuki ruangan pak Ramli dengan penuh tanda tanya dikepalaku. Kuketuk pintu ruangannya, dan dengan isyarat tangan pak Ramli mempersilahkan aku masuk, “Antok..” dia mulai berbicara setelah membiarkan aku duduk dengan nyaman “kamu sudah tahu kan kondisi perusahaan saat ini, kamu sebagai accounting di perusahaan ini pasti lebih tahu dari saya”. Suaranya datar tanpa ekspresi. Kudengar jantungku mulai berdegup kencang mereka-reka apa yang akan dikatakan. “rapat manajemen telah memutuskan kita akan mengurangi karyawan, secara berkala” pak Ramli melanjutkan berbicara setelah menyalakan rokok, “dan saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena management telah memutuskan, bahwa kamu harus meninggalkan perusahaan siang ini, segala keperluan administrasi telah kami siapkan’.
Kemarahanku meluap seperti lumpur Lapindo, aku tidak terima, selama ini aku tidak pernah melakukan kesalahan. “Tidak adil !!!…” teriakku dalam hati. Untung saja bisikan setan untuk melempar pak Ramli keluar jendela tidak aku hiraukan. Kujabat tangannya dan kutinggalkan pak Ramli tanpa sepatah katapun.
Sesampi dirumah kulihat istriku sedang memasak, aku bingung apa yang harus kukatakan. Saat ku berada di depan pintu dapur, istriku agak terkejut melihat akau sudah ada di rumah, tapi dengan tenang ia menyapa, “koq sudah pulang mas?’ sambil mengemasi penggorengan yang habis ia pakai. Aku diam untuk beberapa saat, tak tahu apa yang ingin kukatakan. “Bagaimana dengan anak anak?” aku mengalihkan perhatian sebentar, karena aku bingung, tidak tega membayangkan anak dan istriku terlantar. “Sedang main tuh di halaman belakang.” Jawab istriku dengan manis. Kami mempunyai serang anak gadis yang masih berumur 4 tahun, yang sebentar lagi akan memasuki sekolah.
Aku duduk di kursi dekat istriku berdiri, kupeluk istriku dan kubenamkan kepalaku diperutnya, seperti anak kecil yang merajuk ibunya. Dalam keadaan seperti itu, istriku sudah hapal betul bahwa aku sedang ada masalah berat. “Ada apa mas?” sambil mengusap rambutku, is berusaha menenangkan diriku. “Aku dipecat.” Jawabku lirih. Istriku tidak mengatakan apa-apa, ia malah memelukku dan mencium kepalaku, “trus kenapa begitu sedih?” pertanyaan yang aneh pikirku, “kalau tanpa pekerjaan, bagaimana aku bisa membahagiakan kalian?” jawabku lirih. “Mas”, kata istriku, “senangkanlah hati Tuhan Allah kita dulu baru mas bisa menyenangkan hati orang lain”.
Seperti mendapat kekuatan ganda, aku langsung terhenyak, semangatku kembali membara. “yah.. aku selama ini lupa, bahwa Tuhanlah yang telah menghidupi keluargaku, aku terlalu sombong menganggap semua ini adalah hasil jerih payahku, dan kekuatanku.” Kepeluk istriku dan kucium keningnya, kutinggalkan ia di dapur, dan aku setengah berlari menuju kamar samping, tempat yang sudah lama aku tinggalkan, dimana kami dulu sering bersaat teduh bersama, berdoa bersama, sampai Tuhan memberikan segala kelimpahan kepada kami yang membuat aku lupa dengan Tuhan. Aku memasuki ruangan itu, masih tertata seperti yang dulu, aku berlutut dan berdoa, “aahhh Engkau sungguh baik Tuhan, kau berikan aku seorang istri yang tidak pernah melupakanMu”. Aku ambil Alkitab yang biasa kami pakai bersama, dan kubuka dengan sembarang. Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari." Kubaca kalimat itu dengan perlahan, dan kuresapi apa yang Tuhan sampaikan, ooohhh… aku tersungkur menangis terisak-isak, mensyukuri segala kasih setia-Nya.
Setelah hatiku tenang, aku bangkit berdiri, keluar menuju halaman belakang dan menemani anakku bermain. “Apa yang akan kamu makan besok?” terdengar suara bisikan di telingaku. Aku menjawab “aku tidak tahu, tapi yang aku tahu, Tuhanku akan memelihara dan memberiku makan.
Surabaya, 12 Juli 2006
D. Made Ari S
(upload by me, hehehehe...)
No comments:
Post a Comment