Wednesday, June 13, 2012

#soegija

 

 Ini tampaknya semakin menguatkan image yang bertahun-tahun melekat pada Garin sebagai sineas film-film yang tak mudah diikuti, film dengan alur lamban, menyuguhkan banyak bahasa gambar penuh simbol, film-film yang berat, yang banyak meraih juara di festival film di luar negeri. Terus terang, usai nonton filmnya, perasaan saya campur aduk. Buat saya filmnya tidak jelek.

Banyak sekali pesan yang bisa diambil dari Soegija. tata artistiknya bagus. ilustrasi musiknya bagus. komposisi bagus. Senang rasanya melihat period film (istilah untuk menyebut film berlatar masa lampau) masih dibuat di negeri ini. Tapi, di saat bersamaan, ada yang mengganjal. sebenarnya filmnya bagus, tapi kok gimana gitu rasane.. tidak banyak memori yang bisa dibawa ketika keluar dari gedung bioskop. nah lo... ada apa imi?? nahh...untuk itulah tulisan ini ada.. hehe.. sebenarnya Kebesaran nama Garin membuat pengulas film rikuh mengkiritiknya. sudah kenyang dengan prestasi euy.. emang kita siapa, brani kritikin mas Garin. #hening

 Nah, apalagi Soegija ini bikin rikuh kuadrat. Ini film besar sekaligus punya misi ingin mengenalkan tokoh pahlawan Mrg Albertus Soegijapranata yang namanya tak pernah disebut dalam narasi kisah kepahlawanan negeri ini. Belum lagi Soegijapranata adalah tokoh besar agama tertentu (Katolik) hingga makin bikin publik kebanyakan tak enak hati mengkritiknya. Tapi sudahlah. Saya sekadar ingin berbagi kesan usai nonton Soegija. ....

 Hampir semua orang Islam Jawa tahu siapa Walisanga. Tapi, Soegija? Siapa dia?? Selain itu adalah nama salah satu universitas di Semarang (Unika Soegija Pranata) . bahkan anak-anak Katolik biasanya bingung tentang siapa yang memperkenalkan agamanya ke Indonesia. Ups..kayake pada Terlalu sibuk dengan doa dan dogma; lupa pada sejarah.”

 Masalahnya kemudian, apa Soegija ini medium yang tepat untuk mengenal lebih jauh sosok Soegija dan pada gilirannya, membuat penganut Katolik tahu lebih jauh sejarah mereka? Menonton Soegija dan membaca beberapa ulasan serius film ini, terutama dari penganut Katolik yang kritis atas film ini, saya menyimpulkan:
1) Soegija jelas bukan film agama, apalagi film religi Katolik. Memang ada simbol-simbol Katolik diperlihatkan, tapi itu sebatas yang sepatutnya muncul di layar karena film ini mengangkat hidup seorang pastor Katolik.

2) Sebetulnya, Soegija hanya bagian kecil dari film ini. Tanpa cerita sepenggal hidup Soegija, film Garin tetaplah jadi sebuah film. Ya, karena Garin sejatinya tak mengisahkan kisah Soegija, sejarah gereja Katolik di Jawa, apalagi dakwah Katolik. Garin sedang menyuguhkan kritik sosialnya atas Indonesia zaman kiwari dengan bercermin pada kisah tauladan masa lampau. Problem mendasar film ini terletak pada judulnya: Soegija.

 Mau tak mau, karena judulnya memilih nama tokoh yang betulan pernah hidup, film ini punya beban sebagai film biopic. Masalahnya, Soegija sendiri bukanlah film yang taat asas untuk disebut film biopic. Meski filmnya mengambil sepenggal kisah hidup Soegijapranata dari 1940-1949 (saat ia diangkat sebagai pastor pribumi pertama di tanah Hindia Belanda, masuk penjajahan Jepang, hingga masa saat perang kemerdekaan ketika Belanda ingin kembali merebut kemerdekaan Indonesia) sang pastor berada di pinggir dari narasi besar Garin: orang-orang yang berada dalam kemelut perang besar di tahun-tahun itu. Syahdan, kita melihat kisah-kisah orang yang hilir mudik sepanjang film itu, bergantian menyita perhatian. Ada kisah Mariyem (Annisa Hertami), seorang perawat yang harus berpisah dengan kakaknya, Maryono (Abe). Ada bocah Tionghoa bernama Ling Ling (Andrea Reva) yang terpisah dari ibunya (diperankan Olga Lidya). Ada perwira Jepang Nobizuki (diperankan Suzuki) yang rindu pada putrinya, membuatnya tak bisa tega pada anak-anak. Ada juga Robert (Wouter Zweers), seorang tentara Belanda yang begitu merendahkan bangsa pribumi, merasa dirinya mesin perang yang hebat, namun mendadak tersentuh oleh seorang bayi, dan ingin pulang ke ibunya di Belanda.

Robert berkawann dengan Hendrick (Wouter Braaf), fotografer yang jatuh cinta pada “Indonesia” tapi cintanya ditolak. Di antara kisah-kisah di atas masih ada kisah tentang rombongan orkes yang gegap gempita bermusik di tengah perang. Ada juga bocah yang di tengah revolusi inginnya berkelahi saja. Kisah-kisah itu di bingkai oleh narasi historis Pak Besut, penyiar RRI berbahasa Jawa kental. Lantas, Soegijapranata? Di mana Romo Kanjeng dalam narasi besar itu?

 Bagi saya, ia tampak seperti kepingan kecil. Kita melihatnya diangkat jadi uskup, melihatnya menyambangi korban-korban perang, menghadapi Jepang yang ingin merebut gerejanya, pindah ke Yogyakarta saat ibu kota Republik pindah ke kota itu, baca buku, dan banyak menulis. Banyak tulisannya yang penuh makna muncul di layar.

Bagi saya, Soegija (dimainkan dengan 'dingin' oleh sastrawan Nirwan Dewanto) seperti hadir untuk sekadar menuliskan kata-kata mutiara di layar. Keputusan menyuguhkan film ini bukan semata kisah hidup Soegijapranata mendatangkan konsekuensi di atas, kisahnya muncul dalam banyak kepingan, bahkan nyaris numpang lewat.

Patut dihargai alasan pembuat film ini untuk tak menjadikan filmnya jadi film religi. Pun kesadaran bahwa betapapun heroiknya Romo Kanjeng, secara sinematik kisahnya “membosankan” karena ia bukan pejuang militer seperti Patimura, Pangeran Diponegoro, atau Sultan Hasanuddin.

Begitu “membosankan”-nya sosok Soegija, sineasnya sampai perlu menyelipkan tokoh konyol yang tugasnya membanyol mendampingi Romo Kanjeng yang diperankan dengan kocak oleh Butet Kertaradjasa. 

Tambahan pula, setiap kisah di film ini muncul tak lebih seperti percikan. Alih-alih membuat kita hanyut terbawa emosi lalu bersimpati pada nasib mereka di layar, kita sekadar kena percikan air, hanya kena basah sedikit.

Momen-momen emosional di layar tak cukup menggiring saya untuk ikut terbawa emosi. Yang menggugah justru betapa aktualnya pesan film ini pada Indonesia masa kini. Setengah abad lewat, pesan-pesan Soegijapranata tetap relevan.

Hal ini yang terasa unggul dari film ini, betapa yang lampau tetap terasa aktual. *** well.. overall. ini tetap merupakan sebuah film bermutu yang layak untuk disimak.. kalau gak mau 'citarasa' gak rusak, oleh film-film gak mutu. 'melahap' film ini akan memperkaya citarasa kita.. satu kutipan yang saya masi inget sampai hari ini: 100% KATOLIK.. 100& REPUBLIK..

 #sekian